12-03-2019 Sudah tidak asing dengan Kimono? Yap, Baju khas jepang ini ternyata menyimpan cerita sejarahnya loh. Yuk kita simak bagaimana sih sejarah baju kimono menjadi baju khas Negeri Sakura dan Dan Matahari Terbit ini.
Pada awalnya, kimono merupakan kata dalam bahasa Jepang yang berarti pakaian. Namun, pada tahun-tahun selanjutnya, kata tersebut merujuk khusus pada baju tradisional Jepang. Kimono yang kita kenal saat ini, muncul pertama kali pada masa Heian (794-1192). Sebelumnya, di masa Nara (710-794), biasanya orang-orang Jepang memakai satu setel pakaian terpisah yang terdiri dari atasan dan bawahan (celana panjang atau rok) atau baju terusan. Namun, pada masa Heian, pembuatan baju kimono mulai dilakukan. Dikenal dengan metode ‘straight-line-cut’, pembuatan kimono melibatkan pemotongan kain dalam garis lurus, lalu menjahitnya secara bersamaan. Dengan teknik ini, pembuat kimono tidak harus memperhatikan bentuk badan pemakainya saat memproduksinya. Kimono dengan potongan garis lurus ini menawarkan berbagai macam keuntungan. Pertama, ia mudah dilipat. Kedua, cocok dipakai pada cuaca apa pun. Ketiga, bisa digunakan secara berlapis untuk memberikan kehangatan di musim dingin. Juga dibuat dari bahan seperti linen yang nyaman digunakan di musim panas.
Manfaat-manfaat tersebut membuat kimono akhirnya menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Jepang. Seiring berjalannya waktu, saat penggunaan kimono beriringan dengan perkembangan mode, orang-orang Jepang mulai memperhatikan bagaimana pakaian tradisional tersebut tampak lebih menarik dengan berbagai macam warna. Mereka menjadi lebih peka terhadap warna. Padahal, biasanya, kombinasi warna mewakili warna musiman atau kelas politik yang menjadi miliknya. Selama masa Kamakura (1192-1338) dan Muromachi (1338-1573), baik pria maupun perempuan Jepang mengenakan kimono berwarna cerah. Para pejuang berpakaian dengan warna yang sesuai pemimpin mereka. Terkadang, medan perang pun terlihat seperti fashion show. Pada masa Edo (1603-1868), klan prajurit Tokugawa memimpin Jepang. Negara tersebut dibagi menjadi wilayah feodal yang dipimpin para bangsawan.
Samurai dari setiap daerah kekuasaan dikenali dari warna dan pola ‘seragam’ mereka yang terdiri dari tiga bagian: sebuah kimono, pakaian tanpa lengan (kamishimo) yang dikenakan di atas kimono, dan hakama yang merupakan rok seperti celana. Dengan banyaknya samurai yang harus diproduksi, keahlian para pembuat kimono menjadi semakin baik. Kimono berkembang menjadi sebuah bentuk seni. Kimono juga menjadi salah satu barang berharga. Para orangtua memberikan pakaian tersebut kepada anaknya sebagai warisan keluarga. Di masa Meiji (1868-1912), Jepang sangat dipengaruhi oleh budaya asing. Pejabat pemerintah dan personil militer diwajibkan undang-undang untuk mengenakan pakaian Barat demi kepentingan resmi. Sementara, untuk warga biasa, mengenakan kimono di acara formal harus dihias terlebih dahulu sesuai dengan gambaran latar belakang keluarganya. Di zaman sekarang ini, jarang yang memakai kimono untuk kegiatan sehari-hari. Orang Jepang lebih sering mengenakan kimono untuk acara khusus seperti pernikahan, pemakaman, upacara minum teh, atau festival musim panas.
Pada zaman sekarang, kimono berbentuk seperti huruf "T", mirip mantel berlengan panjang dan berkerah. Panjang kimono dibuat hingga ke pergelangan kaki. Wanita mengenakan kimono berbentuk baju terusan, sementara pria mengenakan kimono berbentuk setelan. Kerah bagian kanan harus berada di bawah kerah bagian kiri. Sabuk kain yang disebut obi dililitkan di bagian perut/pinggang, dan diikat di bagian punggung. Alas kaki sewaktu mengenakan kimono adalah zori atau geta.
Kimono sekarang ini lebih sering dikenakan wanita pada kesempatan istimewa. Wanita yang belum menikah mengenakan sejenis kimono yang disebut furisode. Ciri khas furisode adalah lengan yang lebarnya hampir menyentuh lantai. Perempuan yang genap berusia 20 tahun mengenakan furisode untuk menghadiri seijin shiki. Pria mengenakan kimono pada pesta pernikahan, upacara minum teh, dan acara formal lainnya. Ketika tampil di luar arena sumo, pesumo profesional diharuskan mengenakan kimono. Anak-anak mengenakan kimono ketika menghadiri perayaan Shichi-Go-San. Selain itu, kimono dikenakan pekerja bidang industri jasa dan pariwisata, pelayan wanita rumah makan tradisional (ryotei) dan pegawai penginapan tradisional (ryokan).
Pakaian pengantin wanita tradisional Jepang (hanayome isho) terdiri dari furisode dan uchikake (mantel yang dikenakan di atas furisode). Furisode untuk pengantin wanita berbeda dari furisode untuk wanita muda yang belum menikah. Bahan untuk furisode pengantin diberi motif yang dipercaya mengundang keberuntungan, seperti gambar burung jenjang. Warna furisode pengantin juga lebih cerah dibandingkan furisode biasa. Shiromuku adalah sebutan untuk baju pengantin wanita tradisional berupa furisode berwarna putih bersih dengan motif tenunan yang juga berwarna putih.
Sebagai pembeda dari pakaian Barat (yofuku) yang dikenal sejak zaman Meiji, orang Jepang menyebut pakaian tradisional Jepang sebagai wafuku ( pakaian Jepang). Sebelum dikenalnya pakaian Barat, semua pakaian yang dipakai orang Jepang disebut kimono. Sebutan lain untuk kimono adalah gofuku . Istilah gofuku mulanya dipakai untuk menyebut pakaian orang negara Dong Wu (bahasa Jepang : negara Go) yang tiba di Jepang dari daratan Cina. Semoga artikel ini menambah pengetahuan kita yaaa :)
Untuk Info lebih lanjut mengenai pembelajaran bahasa Jepang dapat menghubungi :
Admin : +6285266840608
Admin : +6285266101952
WEB : www.Bamboocyberschool.com
Instagram : Bamboocyberschool
Facebook : Bamboocyberschool
Comments